“Kita
selalu mengais sedikit demi sedikit kesempatan untuk saling memenangkan hati
para fondasi kita serta meyakinkan sekitar untuk tak bergumam dalam rangka yang
merubuhkan kita.”
Sudah berapa lama aku tak mengomentari perkembangan fisik dan semua benda yang
menempel di tubuhmu. Rasanya belum genap satu bulan namun entah mengapa aku
merasa bahwa aku telah melewatkan banyak hal tentangmu.
Palembang,
23 Januari 2014
Hai...
Aku tahu pasti
bagaimana reaksimu saat membaca surat ini. Pasti rasa senangmu membuncah-buncah
melebihi jagung yang telah bermetamorfosis menjadi pop corn. Hhaha.. Benar kan?
Atau paling tidak kamu rela meninggalkan kegiatan paling berhargamu demi
membaca surat ini. Jangan berkilah, aku bukan anak kemarin sore yang masih
ampuh untuk kamu kibuli.
Ini surat pertama
yang datang namun aku benar-benar tak berharap akan surat lanjutan dari ini
karena aku tahu bahasamu sangat payah, kacau tak seperti manusia romantis lain
yang bisa membuatku meleleh dengan puitisnya. Namun aku tetap kagum atas
kesediaanmu sehingga aku selalu berkata “Ah, selalu bisa nyenengin aku.” Terlihat seperti
mengeluh atau memuji? Oiya aku lupa, bahasamu payah.
Siapa yang pernah menyangka
bahwa aku dan kamu akan sejauh ini. Sejauh tempo perkenalan ini sejauh itu pula
jarak kita. Pernah berniat untuk berpindah hati? Aku ingat betul jawaban untuk
yang satu ini. Entah itu kebenarannya atau hanya sebuah upaya untuk
menyenangkan hatiku. Hanya Tuhan dan kamu yang tahu.
Kamu ingat pertemuan
pertama kita? Saat kamu dan aku masih benar-benar menikmati masa mahasiswa baru
yang kita sandang. Wajahku yang masih sangat fresh dan terlalu bahagia, tak
seperti sekarang yang mulai mengerut dan kantung mata yang semakin membesar
karena kewajiban kuliah yang semakin menggerus umur wajah. Skip, terlalu banyak
perubahanku namun aku yakin rasamu masih tetap sama seperti saat aku cantik dan
disukai oleh beberapa lelaki yang terpesona padaku. Hhaha.. Sudahlah, jangan
mulai menggerus umur wajah pula dengan cemberut seperti itu. Bukannya kamu yang
selalu berkilah untuk tidak mau bilang cemburu padaku.
Bagaimana? Sudah bisa
membayangkan 30 November 2011 yang lalu? Aku tahu kamu yang lebih tahu pasti
karena kamulah yang merencanakan pertemuan itu.
Sekarang mari kita
kembali kepada masa lalu yang tidak sejadul pertemuan itu. Satu tahun yang
lalu, tepat 23 Januari 2013. Untuk pertama kalinya aku merasakan anniversary. Aku tahu bagimu
pasti yang kedua. Coba aku tanya, mana yang lebih mengesankan?
Satu lagi yang
membuatku begitu mengistimewakan hari itu karena kamu membuat kita semakin tak
berjarak, terlebih lagi sebuah lingkaran berbinar yang kamu sematkan di jari
tengahku. Maaf, terlalu longgar untuk jari manisku karena mungkin kamu tidak
tahu bahwa massaku juga semakin tergerus.
Seperti kodrat untuk
berpasangan, seperti itu pula konsekuensi yang harus kita terima atas
perjalanan indah ini. Aku masih ingat bagaimana awalnya kamu bersikeras menemui
orang tuaku namun aku berusaha mati-matian mencegahnya karena aku takut mereka
masih belum bisa menerima bahwa aku sudah dewasa dan ingin menemukan referensi
atas hal yang awalnya sama sekali belum pernah aku terjuni secara langsung.
Lalu kamu masih memaksa, dan kembali aku memberikan pengertian. Hingga
sekarang, saat keadaan sudah semakin sulit dan aku hanya berharap bahwa kamu
akan benar-benar datang dengan keadaan yang berbeda. Menjadikanmu manusia
pertama dan terakhir dalam perjalanan cinta terhadap lawan jenis sekaligus
mengabarkan keterkabulan doa teman-teman kita saat kita pertama memulai
hubungan. Aku masih berharap.
Semua memang tidak
pernah mudah tapi bagiku kamu tetap menunjukkan kadar maksimalmu. Namun aku
tetap manusia biasa. Kuakui ingin berlepas adalah salah satu pilihan yang tak
kuungkapkan padamu meskipun sebenarnya hatiku sempat menggaungkannya. Semuanya
tertolong saat aku mengingat kebesaran hatimu memperlakukanku, membuatku selalu
berkata “Cukup di kamu.” Dan ketika itu pula aku menyerah pada rasa yang telah
kamu tinggalkan.
Terakhir, tentang
hari ini.
Dua tahun berlalu dan
rasaku masih tetap sama. Sekalipun raga kita berjarak dan kesalahpahaman atas
komunikasi akan selalu mengancam namun aku sangat memaklumi. Keadaan yang
berkata dan kita hanya sekedar berharap dan menjalani.
Kamu tak perlu
khawatir tentang rasaku. Dan ingatlah bahwa kamu pernah berjanji akan selalu
berusaha menggenapkan fondasi kita. Kamu ingat kan bagaimana cacatnya fondasi
kita karena ketidakpastian dari orang tuaku yang seolah masih enggan membahas
kita. Ah, aku ingin menangis tapi aku hanya berharap kamu bisa menggenapkan
janjimu dengan sebuah pengabulan.
Percayalah pada
keajaiban. Barangkali dia yang pada akhirnya akan membantu kita atas kepelikan
ini.
The funnest and the
funnies girl that you have.
Andalia Ayu Putry
Kamu menutup penuh wajahmu saat membaca surat itu. Aku tak pernah menyangka
jika kamu akan membacanya dihadapanku. Waktu memang tak pernah bisa disinggahi
janji, karena dasarnya dia hanyalah berandal baik hati yang tak pernah
mau diatur. Kadang tiba-tiba membawa pada keadaan yang menguntungkan, kadang
pula mengacaukan rencana yang sudah disusun rapi dalam sebuah agenda. Namun
seperti itulah adanya, berandal yang baik hati.
Kamu mulai menampakkan wajahmu dengan menyingkirkan lembaran surat itu. Kulihat
ekspresimu tak seperti yang aku ungkapkan dalam surat itu. Kamu malah bersikap
sebaliknya, memasang muka masam, diam dan tanpa komentar apa pun.
“Hey, are you okay?” aku membuka pembicaraan.
“Not at all.” Jawabmu singkat.
“Why?
There’s anything wrong with me or that letter?”
“Kamu
harusnya ngerti kalo aku udah berusaha buat masa depan aku jadi
lebih baik demi kamu. Kamu tahu kan kalo awalnya aku gak pernah takut buat ketemu sama orang
tua kamu, tapi kamu selalu nyegah dan ngebuat aku malah jadi ciut nyali?”
Aku
diam dan mengiyakan dalam hati. Ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan lebih
dalam. Kamu, aku dan orang tuaku adalah hal yang sama pentingnya dan untuk saat
ini belum bisa kutemukan perwujudan jembatan kokoh yang bisa menghubungkannya.
Terlalu rumit untuk dijelaskan. Dan aku hanya meminta kamu menerimanya. Aku
percaya nanti akan ada masanya kamu dengan cangkang baru yang akan menjadi
jembatannya.
“Benar
kan?” kamu kembali berkata dengan nada yang sedikit keras.
“Iya.
Tapi aku juga ngelakuin ini demi kebaikan kita.”
“Do
you believe this is the right way? Haah!”
“I
doubt.”
“Gimana
kamu bisa ngeyakinin aku kalo kamu sendiri masih ragu.”
“Saat
ini kamu hanya perlu menerima. Itu sudah lebih dari cukup.”
“Sampai
kapan?”
Suasana
hening. Kita sibuk dengan diam karena aku tak berniat menjawab pertanyaanmu.
Aku tak mau didesak. Aku mulai merasa bahwa sebaiknya kita membicarakan hal-hal
yang lebih ringan dan mengundang tawa saja. Baiklah, aku mengalah. Kali ini aku
mencoba memecah diam.
“Hey,
let see the 6th paragraph. I left a question there. Do you want to answer it?”
Kamu
kembali mengarahkan pandanganmu pada surat itu dan mulai mencari letak paragraf
keeenam. Aku kembali dengan posisi awalku, menunggumu selesai melakukan
perintahku dan menutupnya dengan sebuah jawaban. Aku masih memasang senyum
berharap akan ada hadiah istimewa darimu.
“Emang
kamu mau dibanding-bandingin? Gini ya, mau gimana pun juga masa lalu itu letaknya di
belakang sedangkan kamu seiring denganku dan aku masih berharap untuk ke
depannya juga. Jadi masa lalu akan selalu kalah oleh kamu.” Jelasmu panjang
lebar.
“Tumben
bahasamu gak payah.” Jawabku singkat.
“Bahasaku
keren tau. Kamu bandingin sama kata-kata puitis yang bikin kamu
meleleh pun aku masih menang kok sebenernya.”
“Kok
bisa?”
“Buktinya
kamu masih milih aku. Kurang apa coba, fostur tubuh keren, baik, romantis, gak macem-macem juga.”
“Heh, gak malu sama perut?”
Kita
tertawa. Akhirnya aku berhasil menaklukkan ketegangan yang sempat terjadi
sebelumnya. Saat seperti inilah yang aku cari. Melihatmu tak berjarak dariku
dan bisa melihat senyummu adalah kejadian yang langka. Namun hari ini berbeda.
Kamu menyegajakan diri datang menemuiku demi sempurnanya 23 Januari 2014.
Memperingati kejadian istimewa namun ilegal dua tahun silam yang akhirnya
dilegalkan tanggal 9 Februarinya. Kejadian itu bermula karena aku tetap pada
prinsipku sementara kamu tetap pada keinginanmu.
“Beepp..
Beepp..”
Suara
ponsel membangunkan tidurku. Rupanya aku bermimpi namun surat itu bukanlah
mimpi karena aku sudah mengirimkannya tepat jam 00.00 WIB melalui surel. Ah,
kamu memang tidak ada rencana menemuiku 23 Januari ini.
From
: .Kak Jaya
+62819xxxxxxxx
Gimana
udah nyampe paketnya?
Aku
ingat. Kamu memang berjanji akan mengirimkanku sesuatu sebagai hadiah anniversary ini. Dan aku meminta agar paket itu
sampai tepat pada tanggal 23.
To
: .Kak Jaya
+62819xxxxxxxx
Belum. Pokoknya harus diterima hari ini juga!
Tak
sampai 30 detik, aku melihat laporan pesan terkirim dan dua menit kemudian
terdengar kembali suara ponselku.
From
: .Kak Jaya
+62819xxxxxxxx
Iya, janjinya sih hari ini sampe. Kamu tungguin aja ya cantik.
Ini
lagi ciri khas darimu. Tak pernah meladeni kemarahanku. Kamu lebih memilih diam
atau mengalihkannya pada hal-hal yang berpotensi membuat aku senang. Aku
menyukainya. Kamu sempat bertanya mengapa aku tak mengubah namamu di kontakku
dengan panggilan yang lebih berkesan atau terdengar romantis atau mungkin
panggilan-panggilan sayang layaknya pasangan lain. Maaf, aku tidak tertarik.
Bagiku, nama itu lebih indah dibandingkan nama-nama yang kamu tawarkan. Lihat
perbedaan samar namun akan sangat mencolok pada waktu tertentu. Iya, ada tanda
titik di depan namamu. Kamu tahu apa artinya? Aku ingin menjadikanmu tempat
pemberhentianku. Aku sudah bosan tak berujung dengan huruf ‘J’ dan inilah tiba
saatnya aku menjadikanmu jawabannya. Selain itu aku tak membandingkanmu dengan
kontak lain di handphone. Ketika kumasukkan simbol titik, hanya akan ada namamu
yang muncul. Tak seperti saat aku memasukkan abjad dan akan menemukan beberapa
pembandingmu yang seketika muncul meskipun aku tidak memintanya. Kamu mengerti
kan betapa istimewanya namamu di kontakku.
Tetap saja, sekalipun saat ini aku berharap kamu menjadi tempat
pemberhentianku, aku tak menampik akan kemungkinan buruk lainnya. Aku sama
seperti kamu, seorang manusia yang hanya bisa berharap dan berusaha. Siapa yang
tahu jika pada akhirnya kamu yang pernah bersikukuh tak akan selingkuh malah
mendustainya. Lalu siapa yang tahu jika pada akhirnya aku yang selalu ingin
selalu menjadikanmu bagian dari hariku tiba-tiba saja perlahan mengabaikanmu.
Siapa yang tahu. Ini hanya sebuah pengandaian agar kita tak terlalu berharap
pada sesuatu karena ada satu hal yang harus kita sadari yaitu tak ada yang
abadi. Sekalipun aku berhenti di kamu, pada akhirnya kita juga nanti akan
dipisahkan dengan maut.
Aku hanya tak ingin mengumbar kepastian karena sejatinya ilmu eksakta juga
masih membicarakan peluang. Kamu hanya perlu percaya bahwa selagi kamu
berada pada kadar yang selama ini kukenal dan tak ada masalah besar lain yang
mengguncang, kumaksimalkan untuk stasioner di lintasanmu. Tapi kupastikan satu
hal, kita tak bisa terus seperti ini. Akan tiba waktunya ketika kita tak bisa
lagi mengelak pada kenyataan. Untuk itu, lekaslah penuhi permintaanku, aku tahu
kamu selalu mengusahakannya namun aku juga menunggu hasil maksimalnya. Maaf,
jika aku terlalu egois namun setidaknya aku yang paling tahu tentang mereka,
hidup bersama hampir 20 tahun lamanya sudah membuatku tahu di luar kepala
segala tentang mereka. Jadi untuk yang satu ini aku mohon kamu ikuti
permintaanku.
Ps :
Happy 2nd
anniversary, still waiting for you to change this condition :’)
Sengaja gak terlalu
panjang nulisnya karena aku tahu kamu malas baca.
Selesai
di Palembang
Kamis,
23 Januari 2013 pukul
Ditulis
dengan tubuh yang masih diliputi flu dan rasa sayang yang masih tetap sama
meskipun aku tetap bersikukuh mengatakan dua tahunan macam apa ini.