Kamis, 23 Januari 2014

Surat di dalam Kado

“Kita selalu mengais sedikit demi sedikit kesempatan untuk saling memenangkan hati para fondasi kita serta meyakinkan sekitar untuk tak bergumam dalam rangka yang merubuhkan kita.”

                Sudah berapa lama aku tak mengomentari perkembangan fisik dan semua benda yang menempel di tubuhmu. Rasanya belum genap satu bulan namun entah mengapa aku merasa bahwa aku telah melewatkan banyak hal tentangmu.

Palembang, 23 Januari 2014

Hai...
Aku tahu pasti bagaimana reaksimu saat membaca surat ini. Pasti rasa senangmu membuncah-buncah melebihi jagung yang telah bermetamorfosis menjadi pop corn. Hhaha.. Benar kan? Atau paling tidak kamu rela meninggalkan kegiatan paling berhargamu demi membaca surat ini. Jangan berkilah, aku bukan anak kemarin sore yang masih ampuh untuk kamu kibuli.

Ini surat pertama yang datang namun aku benar-benar tak berharap akan surat lanjutan dari ini karena aku tahu bahasamu sangat payah, kacau tak seperti manusia romantis lain yang bisa membuatku meleleh dengan puitisnya. Namun aku tetap kagum atas kesediaanmu sehingga aku selalu berkata “Ah, selalu bisa nyenengin aku.” Terlihat seperti mengeluh atau memuji? Oiya aku lupa, bahasamu payah.

Siapa yang pernah menyangka bahwa aku dan kamu akan sejauh ini. Sejauh tempo perkenalan ini sejauh itu pula jarak kita. Pernah berniat untuk berpindah hati? Aku ingat betul jawaban untuk yang satu ini. Entah itu kebenarannya atau hanya sebuah upaya untuk menyenangkan hatiku. Hanya Tuhan dan kamu yang tahu.

Kamu ingat pertemuan pertama kita? Saat kamu dan aku masih benar-benar menikmati masa mahasiswa baru yang kita sandang. Wajahku yang masih sangat fresh dan terlalu bahagia, tak seperti sekarang yang mulai mengerut dan kantung mata yang semakin membesar karena kewajiban kuliah yang semakin menggerus umur wajah. Skip, terlalu banyak perubahanku namun aku yakin rasamu masih tetap sama seperti saat aku cantik dan disukai oleh beberapa lelaki yang terpesona padaku. Hhaha.. Sudahlah, jangan mulai menggerus umur wajah pula dengan cemberut seperti itu. Bukannya kamu yang selalu berkilah untuk tidak mau bilang cemburu padaku.

Bagaimana? Sudah bisa membayangkan 30 November 2011 yang lalu? Aku tahu kamu yang lebih tahu pasti karena kamulah yang merencanakan pertemuan itu.

Sekarang mari kita kembali kepada masa lalu yang tidak sejadul pertemuan itu. Satu tahun yang lalu, tepat 23 Januari 2013. Untuk pertama kalinya aku merasakan anniversary. Aku tahu bagimu pasti yang kedua. Coba aku tanya, mana yang lebih mengesankan?

Satu lagi yang membuatku begitu mengistimewakan hari itu karena kamu membuat kita semakin tak berjarak, terlebih lagi sebuah lingkaran berbinar yang kamu sematkan di jari tengahku. Maaf, terlalu longgar untuk jari manisku karena mungkin kamu tidak tahu bahwa massaku juga semakin tergerus.

Seperti kodrat untuk berpasangan, seperti itu pula konsekuensi yang harus kita terima atas perjalanan indah ini. Aku masih ingat bagaimana awalnya kamu bersikeras menemui orang tuaku namun aku berusaha mati-matian mencegahnya karena aku takut mereka masih belum bisa menerima bahwa aku sudah dewasa dan ingin menemukan referensi atas hal yang awalnya sama sekali belum pernah aku terjuni secara langsung. Lalu kamu masih memaksa, dan kembali aku memberikan pengertian. Hingga sekarang, saat keadaan sudah semakin sulit dan aku hanya berharap bahwa kamu akan benar-benar datang dengan keadaan yang berbeda. Menjadikanmu manusia pertama dan terakhir dalam perjalanan cinta terhadap lawan jenis sekaligus mengabarkan keterkabulan doa teman-teman kita saat kita pertama memulai hubungan. Aku masih berharap.

Semua memang tidak pernah mudah tapi bagiku kamu tetap menunjukkan kadar maksimalmu. Namun aku tetap manusia biasa. Kuakui ingin berlepas adalah salah satu pilihan yang tak kuungkapkan padamu meskipun sebenarnya hatiku sempat menggaungkannya. Semuanya tertolong saat aku mengingat kebesaran hatimu memperlakukanku, membuatku selalu berkata “Cukup di kamu.” Dan ketika itu pula aku menyerah pada rasa yang telah kamu tinggalkan.

Terakhir, tentang hari ini.
Dua tahun berlalu dan rasaku masih tetap sama. Sekalipun raga kita berjarak dan kesalahpahaman atas komunikasi akan selalu mengancam namun aku sangat memaklumi. Keadaan yang berkata dan kita hanya sekedar berharap dan menjalani.

Kamu tak perlu khawatir tentang rasaku. Dan ingatlah bahwa kamu pernah berjanji akan selalu berusaha menggenapkan fondasi kita. Kamu ingat kan bagaimana cacatnya fondasi kita karena ketidakpastian dari orang tuaku yang seolah masih enggan membahas kita. Ah, aku ingin menangis tapi aku hanya berharap kamu bisa menggenapkan janjimu dengan sebuah pengabulan.

Percayalah pada keajaiban. Barangkali dia yang pada akhirnya akan membantu kita atas kepelikan ini.

The funnest and the funnies girl that you have.
Andalia Ayu Putry

                Kamu menutup penuh wajahmu saat membaca surat itu. Aku tak pernah menyangka jika kamu akan membacanya dihadapanku. Waktu memang tak pernah bisa disinggahi janji, karena dasarnya dia hanyalah berandal baik hati  yang tak pernah mau diatur. Kadang tiba-tiba membawa pada keadaan yang menguntungkan, kadang pula mengacaukan rencana yang sudah disusun rapi dalam sebuah agenda. Namun seperti itulah adanya, berandal yang baik hati.
                Kamu mulai menampakkan wajahmu dengan menyingkirkan lembaran surat itu. Kulihat ekspresimu tak seperti yang aku ungkapkan dalam surat itu. Kamu malah bersikap sebaliknya, memasang muka masam, diam dan tanpa komentar apa pun.
                “Hey, are you okay?” aku membuka pembicaraan.
                “Not at all.” Jawabmu singkat.
“Why? There’s anything wrong with me or that letter?”
“Kamu harusnya ngerti kalo aku udah berusaha buat masa depan aku jadi lebih baik demi kamu. Kamu tahu kan kalo awalnya aku gak pernah takut buat ketemu sama orang tua kamu, tapi kamu  selalu nyegah dan ngebuat aku malah jadi ciut nyali?”
Aku diam dan mengiyakan dalam hati. Ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan lebih dalam. Kamu, aku dan orang tuaku adalah hal yang sama pentingnya dan untuk saat ini belum bisa kutemukan perwujudan jembatan kokoh yang bisa menghubungkannya. Terlalu rumit untuk dijelaskan. Dan aku hanya meminta kamu menerimanya. Aku percaya nanti akan ada masanya kamu dengan cangkang baru yang akan menjadi jembatannya.
“Benar kan?” kamu kembali berkata dengan nada yang sedikit keras.
“Iya. Tapi aku juga ngelakuin ini demi kebaikan kita.”
Do you believe this is the right way? Haah!
“I doubt.”
“Gimana kamu bisa ngeyakinin aku kalo kamu sendiri masih ragu.”
“Saat ini kamu hanya perlu menerima. Itu sudah lebih dari cukup.”
“Sampai kapan?”
Suasana hening. Kita sibuk dengan diam karena aku tak berniat menjawab pertanyaanmu. Aku tak mau didesak. Aku mulai merasa bahwa sebaiknya kita membicarakan hal-hal yang lebih ringan dan mengundang tawa saja. Baiklah, aku mengalah. Kali ini aku mencoba memecah diam.
“Hey, let see the 6th paragraph. I left a question there. Do you want to answer it?”
Kamu kembali mengarahkan pandanganmu pada surat itu dan mulai mencari letak paragraf keeenam. Aku kembali dengan posisi awalku, menunggumu selesai melakukan perintahku dan menutupnya dengan sebuah jawaban. Aku masih memasang senyum berharap akan ada hadiah istimewa darimu.
“Emang kamu mau dibanding-bandingin? Gini ya, mau gimana pun juga masa lalu itu letaknya di belakang sedangkan kamu seiring denganku dan aku masih berharap untuk ke depannya juga. Jadi masa lalu akan selalu kalah oleh kamu.” Jelasmu panjang lebar.
“Tumben bahasamu gak payah.” Jawabku singkat.
“Bahasaku keren tau. Kamu bandingin sama kata-kata puitis yang bikin kamu meleleh pun aku masih menang kok sebenernya.”
“Kok bisa?”
“Buktinya kamu masih milih aku. Kurang apa coba, fostur tubuh keren, baik, romantis, gak macem-macem juga.”
“Heh, gak malu sama perut?”
Kita tertawa. Akhirnya aku berhasil menaklukkan ketegangan yang sempat terjadi sebelumnya. Saat seperti inilah yang aku cari. Melihatmu tak berjarak dariku dan bisa melihat senyummu adalah kejadian yang langka. Namun hari ini berbeda. Kamu menyegajakan diri datang menemuiku demi sempurnanya 23 Januari 2014. Memperingati kejadian istimewa namun ilegal dua tahun silam yang akhirnya dilegalkan tanggal 9 Februarinya. Kejadian itu bermula karena aku tetap pada prinsipku sementara kamu tetap pada keinginanmu.
“Beepp.. Beepp..”
Suara ponsel membangunkan tidurku. Rupanya aku bermimpi namun surat itu bukanlah mimpi karena aku sudah mengirimkannya tepat jam 00.00 WIB melalui surel. Ah, kamu memang tidak ada rencana menemuiku 23 Januari ini.

From : .Kak Jaya
                +62819xxxxxxxx
Gimana udah nyampe paketnya?

Aku ingat. Kamu memang berjanji akan mengirimkanku sesuatu sebagai hadiah anniversary ini. Dan aku meminta agar paket itu sampai tepat pada tanggal 23.
               
To : .Kak Jaya
                    +62819xxxxxxxx
                Belum. Pokoknya harus diterima hari ini juga!

Tak sampai 30 detik, aku melihat laporan pesan terkirim dan dua menit kemudian terdengar kembali suara ponselku.
               
From : .Kak Jaya
                                +62819xxxxxxxx
                Iya, janjinya sih hari ini sampe. Kamu tungguin aja ya cantik.

Ini lagi ciri khas darimu. Tak pernah meladeni kemarahanku. Kamu lebih memilih diam atau mengalihkannya pada hal-hal yang berpotensi membuat aku senang. Aku menyukainya. Kamu sempat bertanya mengapa aku tak mengubah namamu di kontakku dengan panggilan yang lebih berkesan atau terdengar romantis atau mungkin panggilan-panggilan sayang layaknya pasangan lain. Maaf, aku tidak tertarik. Bagiku, nama itu lebih indah dibandingkan nama-nama yang kamu tawarkan. Lihat perbedaan samar namun akan sangat mencolok pada waktu tertentu. Iya, ada tanda titik di depan namamu. Kamu tahu apa artinya? Aku ingin menjadikanmu tempat pemberhentianku. Aku sudah bosan tak berujung dengan huruf ‘J’ dan inilah tiba saatnya aku menjadikanmu jawabannya. Selain itu aku tak membandingkanmu dengan kontak lain di handphone. Ketika kumasukkan simbol titik, hanya akan ada namamu yang muncul. Tak seperti saat aku memasukkan abjad dan akan menemukan beberapa pembandingmu yang seketika muncul meskipun aku tidak memintanya. Kamu mengerti kan betapa istimewanya namamu di kontakku.
                Tetap saja, sekalipun saat ini aku berharap kamu menjadi tempat pemberhentianku, aku tak menampik akan kemungkinan buruk lainnya. Aku sama seperti kamu, seorang manusia yang hanya bisa berharap dan berusaha. Siapa yang tahu jika pada akhirnya kamu yang pernah bersikukuh tak akan selingkuh malah mendustainya. Lalu siapa yang tahu jika pada akhirnya aku yang selalu ingin selalu menjadikanmu bagian dari hariku tiba-tiba saja perlahan mengabaikanmu. Siapa yang tahu. Ini hanya sebuah pengandaian agar kita tak terlalu berharap pada sesuatu karena ada satu hal yang harus kita sadari yaitu tak ada yang abadi. Sekalipun aku berhenti di kamu, pada akhirnya kita juga nanti akan dipisahkan dengan maut.
                Aku hanya tak ingin mengumbar kepastian karena sejatinya ilmu eksakta juga masih membicarakan peluang. Kamu hanya perlu percaya bahwa selagi kamu  berada pada kadar yang selama ini kukenal dan tak ada masalah besar lain yang mengguncang, kumaksimalkan untuk stasioner di lintasanmu. Tapi kupastikan satu hal, kita tak bisa terus seperti ini. Akan tiba waktunya ketika kita tak bisa lagi mengelak pada kenyataan. Untuk itu, lekaslah penuhi permintaanku, aku tahu kamu selalu mengusahakannya namun aku juga menunggu hasil maksimalnya. Maaf, jika aku terlalu egois namun setidaknya aku yang paling tahu tentang mereka, hidup bersama hampir 20 tahun lamanya sudah membuatku tahu di luar kepala segala tentang mereka. Jadi untuk yang satu ini aku mohon kamu ikuti permintaanku.

Ps :
Happy 2nd anniversary, still waiting for you to change this condition :’)
Sengaja gak terlalu panjang nulisnya karena aku tahu kamu malas baca.

Selesai di Palembang
Kamis, 23 Januari 2013 pukul

Ditulis dengan tubuh yang masih diliputi flu dan rasa sayang yang masih tetap sama meskipun aku tetap bersikukuh mengatakan dua tahunan macam apa ini.


Senin, 30 Desember 2013

SEKETIKA

Aku memandangi benda bersinar redup dihadapanku. Cahayanya masih bersinar sebagaimana yang diharapkan. Beginilah pekerjaanku hampir tiap malam. Kasarnya mungkin bisa disebut sebagai titisan kelelawar, bangun di malam hari dan tidur di siang hari. Terlebih lagi saat malam jumat yang konon menaruh hawa mistis, pasti masa bangunku akan lebih panjang karena ada ritual pemujaan terlebih dahulu.
Untungnya, aku tidak sendiri menjadi titisan kelelawar. Masih ada suamiku yang harus bekerja lebih keras dalam masa bangunnya di malam hari karena harus berkeliling rumah warga dengan wujudnya yang berupa binatang. Sementara aku hanya menunggu dan menjaga tanpa boleh mengalihkan pandangan dari benda bercahaya yang berdiri didalam baskom yang berisi air.
Aku tersentak menyaksikan benda bercahaya itu bergoyang-goyang. Secepat kilat kuhembuskan karbon dioksida melalui mulutku. Seketika api itu padam dan suamiku kini berada dihadapanku dengan jubah hitamnya. Beruntung aku tidak lalai menjaga benda bercahaya itu.
Suamiku tersenyum sebagai tanda kemakhiranku akan tugas ini. Kami pulang dan aku benar-benar tak sabar menyaksikan tumpukan uang dan emas yang tergeletak di dalam kamarku.